Menakar Harapan dan Tantangan Komisi Percepatan Reformasi Polri

Indonesia Law Justice

OPINI HUKUM

11/10/20252 min read

Latar Belakang dan Dasar Hukum Pembentukan

Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri (selanjutnya: Komisi Reformasi) pada 7 November 2025 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 adalah respons atas tuntutan mendesak perbaikan akuntabilitas Polri. Dasar hukum pembentukan ini bersandar pada UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Komisi ini bersifat ad hoc (sementara) untuk membantu kewenangan prerogatif Presiden.

Isu Hukum yang Relevan

Ada dua isu hukum utama yang harus dijawab dan diatasi oleh Komisi Reformasi ini:

Pertama, Isu Kewenangan Ganda (Overlapping Authority): Apakah pembentukan Komisi Reformasi yang bersifat ad hoc ini akan efektif dan tidak tumpang tindih dengan fungsi pengawasan eksternal yang bersifat permanen, yaitu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang sudah diamanatkan oleh UU Polri?

Kedua, Isu Akuntabilitas & Impunity: Bagaimana Komisi Reformasi dapat merumuskan rekomendasi kebijakan yang radikal untuk membongkar akar masalah kultural dan struktural (misalnya, penyalahgunaan wewenang, gaya hidup hedonis, dan impunitas) yang menghambat penegakan hukum yang berkeadilan?

Analisis Yuridis dan Kritik

1. Kedudukan dan Kekuatan Hukum Komisi

Secara yuridis, Komisi Reformasi adalah alat bantu Presiden. Walaupun rekomendasi Komisi tidak memiliki kekuatan mengikat seperti UU atau Putusan Pengadilan, kekuatannya berasal dari otoritas moral para anggotanya dan mandat politik langsung dari Presiden. ILJ berpandangan, Komisi harus menggunakan momentum ini untuk mengajukan rekomendasi yang dapat diimplementasikan melalui Peraturan Presiden (Perpres) atau revisi UU Polri.

2. Risiko dan Tantangan Dominasi Insider

Kritik utama ILJ adalah risiko reformasi kosmetik. Komposisi Komisi yang didominasi oleh tokoh yang pernah atau masih berada dalam sistem penegakan hukum dikhawatirkan menghasilkan rekomendasi yang bersifat internal self-correction, bukan reformasi mendasar yang didorong oleh kepentingan publik dan prinsip HAM. Reformasi sejati membutuhkan partisipasi aktif dan berimbang dari masyarakat sipil independen.

3. Fokus pada Reformasi Peradaban Hukum

Komisi tidak cukup hanya memperbaiki sistem administrasi. Perlu ada rekomendasi yang menyentuh ranah kultural dan peradaban hukum, meliputi:

  • Mengevaluasi sistem promosi dan mutasi agar berbasis meritokrasi dan integritas, bukan kedekatan.

  • Merumuskan mekanisme pengawasan eksternal yang memiliki kekuatan eksekutorial (mengikat) dan tidak hanya bersifat rekomendatif, demi menjaga akuntabilitas.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Kesimpulan:

Komisi Reformasi adalah peluang politik dan hukum yang krusial untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap Polri. Namun, peluang ini akan sia-sia jika Komisi hanya menghasilkan laporan yang bersifat normatif. Komisi harus memastikan bahwa akselerasi reformasi ini melebihi kemampuan Kompolnas dan keinginan internal Polri saat ini.

Rekomendasi Strategis:

  1. Revisi UU Polri: Komisi harus merekomendasikan revisi UU Polri untuk memperkuat independensi dan kekuatan Kompolnas (atau lembaga pengawasan eksternal baru) dengan kewenangan untuk melakukan audit investigatif dan merekomendasikan sanksi yang wajib ditindaklanjuti.

  2. Transparansi Anggaran dan Aset: Merekomendasikan transparansi total dan audit forensik terhadap sumber dana taktis dan laporan kekayaan anggota Polri secara berkala dan ketat.

  3. Keterlibatan Publik: Membuka kanal formal dan independen bagi pengaduan masyarakat sipil dan menjadikannya dasar utama dalam penyusunan rekomendasi.