Opini Mendalam: Rehabilitasi dalam Pusaran Kasus Korupsi ASDP

Indonesia Law Justice

OPINI HUKUM

12/1/20252 min read

a red and white boat docked in a harbor
a red and white boat docked in a harbor

Isu rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden terkait kasus dugaan korupsi di PT ASDP adalah persinggungan kompleks antara hak prerogatif konstitusional dan penegakan hukum pidana, terutama yang menyangkut kebijakan bisnis BUMN.

1. Landasan Hukum dan Argumentasi Pro-Rehabilitasi

Pihak yang mendukung atau membenarkan keputusan rehabilitasi mendasarkan argumen pada hak konstitusional Presiden dan interpretasi atas UU terkait keputusan bisnis.

A. Hak Prerogatif Presiden

Dasar utama pemberian rehabilitasi adalah hak konstitusional Kepala Negara:

  • Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

    "Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung."

    • Implikasi: Ini adalah kewenangan absolut (prerogatif) Presiden. Rehabilitasi bertujuan mengembalikan hak seseorang yang nama baiknya direnggut oleh proses peradilan, dan diasumsikan tidak bersalah atau proses peradilan dinilai keliru.

B. Prinsip Business Judgment Rule (BJR)

Meskipun BJR tidak diatur secara eksplisit dalam UU, ia merupakan prinsip hukum yang diakui dan tercermin dalam:

  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT):

    • Pasal 97 Ayat (5) UUPT (Terkait Direksi): Memberikan perlindungan dari tuntutan kerugian selama Direksi dapat membuktikan (1) telah bertindak dengan itikad baik dan kehati-hatian, (2) tidak memiliki benturan kepentingan, dan (3) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

    • Implikasi: Dalam kasus BUMN/ASDP, jika kerugian negara dianggap timbul dari keputusan bisnis yang diambil sesuai prosedur dan didasarkan pada itikad baik (tanpa niat jahat/memperkaya diri), seharusnya hal itu dilindungi oleh prinsip BJR dan tidak dikategorikan sebagai korupsi.

C. UU Tipikor (Interpretasi Kerugian Negara)

Argumen pro-rehabilitasi sering menyoroti interpretasi yang terlalu luas terhadap kerugian negara sebagai tindak pidana korupsi:

  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): Fokus harus pada unsur niat jahat (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, bukan hanya pada hasil (kerugian negara).

    • Implikasi: Jika mantan Direksi divonis hanya karena kerugian yang timbul dari keputusan bisnis yang berisiko, tanpa terbukti adanya niat jahat atau keuntungan pribadi, keputusan hukum tersebut dapat dinilai tidak adil, sehingga rehabilitasi menjadi relevan untuk memulihkan nama baik.

2. Landasan Hukum dan Argumentasi Kontra-Rehabilitasi

Pihak yang menentang keputusan ini mengkhawatirkan dampaknya terhadap wibawa hukum dan semangat pemberantasan korupsi.

A. Supremasi Hukum dan Inkracht

Penolakan didasarkan pada penghormatan terhadap proses peradilan:

  • Asas Nemo Judex Sine Lege dan Due Process of Law: Proses hukum yang telah berjalan di pengadilan (apakah melalui Pengadilan Tipikor, banding, atau kasasi) harus dihormati sebagai wewenang Yudikatif.

  • Implikasi UU Tipikor dan Kerugian Negara: Vonis bersalah yang dikeluarkan pengadilan mengindikasikan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pidana korupsi, termasuk unsur "merugikan keuangan negara" (Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor).

    • Implikasi: Pemberian rehabilitasi oleh Presiden setelah adanya putusan yang menguatkan kerugian negara dikhawatirkan dianggap sebagai intervensi kekuasaan Eksekutif terhadap kekuasaan Yudikatif, sehingga melemahkan wibawa hukum.

B. Pertanggungjawaban Direksi BUMN

Keputusan bisnis BUMN memiliki konsekuensi hukum yang lebih berat karena menggunakan modal negara:

  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN): Direksi BUMN wajib mengelola perusahaan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan bertanggung jawab penuh atas kerugian negara yang timbul dari kelalaian atau kebijakan yang menyimpang.

    • Implikasi: Penggunaan hak prerogatif dalam kasus BUMN yang telah divonis berpotensi meniadakan pertanggungjawaban Direksi atas penggunaan kekayaan negara, yang bertentangan dengan semangat akuntabilitas BUMN.

Kesimpulan Opini dengan Penekanan Hukum:

Pemberian rehabilitasi oleh Presiden dalam kasus ASDP, meskipun dilindungi oleh Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, tetap menjadi dilema serius. Keputusan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan mendalam terhadap putusan pengadilan yang dianggap gagal membedakan secara adil antara risiko bisnis (dilindungi UUPT) dan niat jahat korupsi (dipidana UU Tipikor).

Namun, tanpa adanya pembatalan vonis melalui proses hukum formal (misalnya Peninjauan Kembali), tindakan rehabilitasi ini, di mata publik dan lembaga hukum, dikhawatirkan melanggar prinsip separation of powers dan mengirimkan sinyal negatif terhadap komitmen pemberantasan korupsi, terutama pada sektor strategis BUMN.