Potensi Jerat Hukum di Balik Proyek Kereta Cepat Whoosh
Indonesia Law Justice
OPINI HUKUM
11/12/20252 min read
LATAR BELAKANG
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) adalah etalase kemajuan infrastruktur Indonesia. Namun, di balik kecepatannya, tersimpan aroma masalah hukum yang kompleks. Mulai dari pembengkakan biaya (cost overrun) yang memaksa APBN turun tangan, hingga dugaan "permainan" dalam pengadaan lahan. Opini hukum ini bertujuan menganalisis potensi pelanggaran hukum yang mungkin terjadi dalam proyek strategis tersebut.
ANALISIS HUKUM
Kami membagi analisis ini menjadi dua poin hukum utama:
1. Dugaan Korupsi dalam Pengadaan Lahan
Isu paling krusial adalah dugaan mark up dan modus penjualan tanah negara kepada negara.
Dasar Hukum: Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum (termasuk proyek Whoosh) diatur ketat oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Analisis: UU ini mensyaratkan penilaian ganti rugi harus dilakukan oleh Penilai (Appraiser) independen untuk menjamin kewajaran harga. Jika benar terjadi mark up yang disengaja, atau adanya oknum yang "menciptakan" hak atas tanah negara lalu menjualnya kembali ke negara (via KCIC/Kemenkeu), maka ini bukan sekadar sengketa perdata.
Potensi Jerat Pidana: Tindakan ini berpotensi kuat memenuhi unsur Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Unsur-unsur utamanya adalah:
a. Melawan hukum (bertentangan dengan UU Pengadaan Tanah) atau menyalahgunakan kewenangan (bagi pejabat yang terlibat).
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain/korporasi.
c. Merugikan keuangan negara.
2. Transparansi Cost Overrun dan Penggunaan APBN
Awalnya, proyek ini diklaim murni Business to Business (B2B) tanpa jaminan pemerintah. Kenyataannya, negara menyuntikkan dana melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menambal cost overrun.
Dasar Hukum: Penggunaan APBN, termasuk dalam bentuk PMN ke BUMN, tunduk pada rezim Hukum Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) dan UU BUMN.
Analisis: Pergeseran skema dari B2B murni menjadi "dibantu" APBN ini memiliki implikasi hukum serius. Pertama, ini mementahkan janji awal transparansi risiko bisnis. Kedua, begitu uang APBN (uang rakyat) masuk, maka seluruh aspek proyek—termasuk cost overrun—menjadi objek pengawasan keuangan negara oleh BPK dan penegakan hukum oleh KPK/Kejaksaan.
Potensi Jerat Pidana: Jika cost overrun itu terjadi BUKAN karena faktor teknis yang wajar (misal, kondisi geologi tak terduga), melainkan karena perencanaan yang buruk (disengaja atau tidak) atau mark up dalam pengadaan barang dan jasa terkait, maka ini membuka pintu penyelidikan korupsi. Setiap rupiah pembengkakan biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah adalah kerugian negara.
KESIMPULAN
Proyek Whoosh kini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia adalah aset. Di sisi lain, ia berpotensi menjadi "monumen" masalah hukum jika tidak ditangani dengan benar.
Langkah KPK menyelidiki kasus ini sudah tepat. Penegakan hukum harus mampu membedakan mana business judgment rule (risiko bisnis yang wajar) dan mana criminal act (tindakan kriminal berupa korupsi). Jika terbukti ada oknum yang sengaja bermain dalam pengadaan lahan dan menggelembungkan biaya demi keuntungan pribadi, mereka harus bertanggung jawab secara pidana agar ada efek jera dan kerugian negara dapat dipulihkan.
Kontak
Hubungi kami untuk dukungan hukum terpercaya
Telp:
Bergabunglah Bersama Kami
Afiliasi: Link Advokat Indonesia https://linkhukum.com
© 2025. Indonesia Law Justice All rights reserved.
Email:
