Zona Merah Regulasi: Kebutuhan Extra-Label Drug Use Dokter Hewan Pasca-Sidak BPOM dan Jerat UU Kesehatan No. 17/2023

Indonesia Law Justice

OPINI HUKUM

drh. Sari Indah Lestari, S.H.

12/2/20253 min read

A white cat being examined by a vet
A white cat being examined by a vet

I. Latar Belakang Masalah

Baru-baru ini, telah terjadi inspeksi mendadak (sidak) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan/atau dinas terkait terhadap sejumlah tempat praktik dokter hewan. Pihak regulator berpendapat bahwa penyimpanan dan penggunaan Sediaan Farmasi Manusia (Obat Label Merah, Biru, dan Hijau) di tempat praktik dokter hewan melanggar ketentuan peredaran obat, khususnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pihak regulator menuntut agar stok obat manusia dikembalikan ke apotek atau tempat praktik wajib memiliki Izin Apotek dengan penanggung jawab seorang Apoteker. Situasi ini mengancam keberlangsungan praktik kedokteran hewan yang secara klinis sangat bergantung pada Extra-Label Drug Use (ELDU) karena keterbatasan Obat Hewan (OH) yang tersedia.

II. Dasar Hukum Utama

  1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

III. Isu Hukum

Apakah praktik Extra-Label Drug Use (ELDU) oleh Dokter Hewan, yang memerlukan penyimpanan Sediaan Farmasi Manusia (Obat Manusia), memiliki perlindungan hukum yang memadai di Indonesia, ataukah hal tersebut melanggar ketentuan peredaran obat yang diatur oleh UU Kesehatan?

IV. Analisis Hukum

A. Perspektif UU Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU No. 41/2014)

  1. Kewajiban Profesional: Dokter hewan memiliki kewajiban profesional untuk memberikan terapi terbaik (Drug of Choice) guna menyelamatkan nyawa dan menjaga kesehatan hewan (prinsip animal welfare dan public health).

  2. Keterbatasan Obat Hewan (OH): Dalam banyak kasus hewan kesayangan (anjing, kucing, dan hewan eksotik), ketersediaan Obat Hewan (OH) dalam formulasi yang tepat (misalnya: infus, ampul, dosis rendah) atau jenis obat yang spesifik, sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Hal ini memaksa dokter hewan untuk melakukan ELDU sebagai bagian dari tanggung jawab profesional.

  3. Kekosongan Hukum ELDU: UU No. 41/2014 berfokus pada Obat Hewan. UU ini tidak memiliki pasal eksplisit yang mengatur, melegalkan, dan memberikan payung hukum bagi Dokter Hewan untuk menyimpan dan menggunakan Sediaan Farmasi Manusia dalam konteks ELDU.

B. Perspektif UU Kesehatan (UU No. 17/2023)

  1. Pengawasan BPOM: UU Kesehatan memberikan kewenangan penuh kepada BPOM untuk mengawasi seluruh rantai peredaran Sediaan Farmasi yang ditujukan untuk Manusia.

  2. Rantai Distribusi Ketat: Obat-obatan dengan label tertentu (Keras, Psikotropika/Narkotika, dll.) memiliki peredaran yang diatur secara ketat, hanya boleh disimpan dan dikeluarkan melalui sarana kefarmasian berizin (Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit) yang wajib dipimpin oleh seorang Apoteker.

  3. Pelanggaran Administrasi: Dalam pandangan BPOM, tempat praktik Dokter Hewan, meskipun berizin, bukan merupakan sarana kefarmasian dalam rantai distribusi obat manusia. Oleh karena itu, penyimpanan Sediaan Farmasi Manusia di tempat praktik dianggap melanggar ketentuan administrasi peredaran obat.

C. Kesimpulan Analisis

Konflik yang terjadi bukanlah pada tindakan klinis pemberian obat (use), melainkan pada tindakan administrasi perolehan dan penyimpanan obat (storage and distribution).

Saat ini, Dokter Hewan rentan karena: Praktik klinis (ELDU) yang etis dan diperlukan, bertabrakan dengan regulasi peredaran obat manusia (UU 17/2023) yang tidak memberikan pengecualian atau mekanisme pengadaan yang legal untuk profesi veteriner.

V. Pendapat Hukum (Rekomendasi Tindak Lanjut)

Menyikapi situasi darurat ini, Pendapat Hukum merekomendasikan langkah-langkah terstruktur:

  1. Aksi Kolegial dan Organisasi Profesi (PDHI/Kolegium):

    • Segera Advokasi Regulasi ELDU: PDHI harus mendesak Kementerian Pertanian (Kementan) untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang secara tegas mengatur dan melegalkan Extra-Label Drug Use (ELDU) oleh Dokter Hewan, termasuk mekanisme pengadaan dan penyimpanan Sediaan Farmasi Manusia yang dibutuhkan.

    • Dialog Antar-Sektor: PDHI harus memfasilitasi dialog resmi (MoU) antara Kementan, Kementerian Kesehatan, dan BPOM untuk menciptakan mekanisme perizinan khusus yang menjamin ketersediaan obat manusia yang vital untuk praktik veteriner.

  2. Tindakan di Tempat Praktik (Mendesak):

    • Pemisahan Administrasi: Jika tuntutan memiliki Apoteker/Apotek tidak dapat dipenuhi, Dokter Hewan disarankan untuk mengupayakan sistem pengadaan obat manusia melalui apotek rujukan dengan skema pemesanan ketat per pasien (bukan penyimpanan stok) untuk meminimalkan risiko pelanggaran administrasi.

    • Dokumentasi Klinis: Perkuat dokumentasi rekam medik. Setiap penggunaan Sediaan Farmasi Manusia WAJIB dicatat dengan jelas, menyertakan:

      • Justifikasi ELDU: Alasan klinis penggunaan obat manusia (misalnya: "Obat Hewan tidak tersedia" atau "Obat Hewan tidak memiliki formulasi/dosis yang sesuai").

      • Dosis Tepat: Perhitungan dosis yang dikonversi untuk spesies dan berat badan hewan.

VI. Penutup

Situasi ini memerlukan respons kolektif dan terstruktur dari organisasi profesi. Sambil menunggu adanya payung hukum ELDU, setiap dokter hewan didorong untuk memperkuat aspek dokumentasi klinis dan segera berkonsolidasi melalui PDHI untuk mendesak solusi regulasi yang komprehensif.